Karya Jordan Distilingga
Judul
: Robohnya Surau Kami
Pengarang
: A.A. Navis
Tahun
: Cetakan keenam belas: November 2010
Penerbit
: Gramedia Pustaka Utama
Dimensi
: 142 halaman
ISBN
: 978-979-22-6129-5
Di suatu tempat ada sebuah surau tua
yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan
keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini
masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini
disebut sebagai Garin. Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang
lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia
masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat
mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok. Kehidupan
orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan,
membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya
sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil
kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak
pernah terpikirkan. Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang
dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan yang
mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu murung,
sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu
sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya. Dia memang tak pernah mengingat anak
dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang
tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya
kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor
lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada
Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan
? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat
tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam
neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya.
Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas
untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha
mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu
peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar
jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.
Keunggulan dari cerita robohnya surau
kami terletak pada bagaimana A.A. Navis mengakhiri cerita dengan kejadian yang
tak terduga, lalu pada teknik penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa pada saat
itu. Tidak biasanya karena Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di
alam lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha
Pencipta. Kelemahannya terletak pada gaya bahasa yang terlalu tinggi, sehingga
sulit untuk dibaca.
Unsur perkampungan juga memberi latar
yang pas dalam penceritaan. Pembaca dibawa menelusuri latar perkampungan yang
masih kental. Dimana anak-anak bermain di surau, ataupun ibu-ibu yang suka
mencopoti papan pada malam hari untuk kayu bakar.
Tokoh ini begitu berperan dalam
cerpen. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek yang membunuh dirinya
dengan cara menggorok lehernya dengan pisau. A.A. Navis menggambarkan tokoh ini
sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain.
Tokoh ini sangat istimewa. Tidak
banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini . Secara
jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bohong. Sebutan ini muncul melalui
mulut tokoh Aku.
Tokoh ini agaknya menjadi tokoh
sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh A. A. Navis tokoh ini digambarkan
sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang,
mengambil keputusan tanpa pikir panjang, dan tentu saja lemah iman nya.
Navis seperti ingin mengingatkan kita
yang seringkali berpuas diri dalam ibadah, tapi sesungguhnya lupa memaknai
ibadah itu sendiri. Kita rajin sahalat, mengaji dan kegiatan ritual keagamaan
lainnya karena kita takut masuk neraka. Kita menginginkan pahala dan
keselamatan hanya untuk diri kita sendiri. Kita melupakan kebutuhan orang lain.
Karenanya kita tidak merasa berdosa dan bersalah ketika mengambil hak orang
lain, menyakiti perasaan sesama atau bahkan melakukan ketidakjujuran dan
kemaksiatan di muka bumi.
A.A.
Navis menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan
(Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah,
Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan, beribadat
menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat,
neraka, haji, Syekh, dan Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Sedangkan
majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di
dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh
dan kehidupan di akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas
ini merupakan bagian dari majas alegori) karena majas ini berisi ajaran agama,
moral atau suatu kebenaran umum dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat
dominan dalam cerpen ini.
Cerita ini sangat cocok untuk dibaca,
karena memberikan hal-hal yang menarik bagi kehidupan sang pembaca.
Resensi Novel Robohnya Surau Kami
Reviewed by Jordan
on
1:22 AM
Rating:
Tidak ada komentar: